Rabu, 17 Juni 2009


Allah menciptakan wajah kehidupan ini berbeda-beda. Ada yang miskin, ada pula yang kaya. Ada yang menjadi pemimpin, ada yang menjadi rakyat jelata. Semua ini tidak seharusnya menjadikan kita punya kelas pemilah, yang membedakan antara yang satu dengan yang lain. Melebarkan jarak antara si miskin dengan si kaya. Kenyataan ini mengetuk kesadaran kita untuk saling berbagi, saling mengasihi dan saling menebar empati, sebagaimana diajarkan Islam. Rosulullah SAW melukiskan, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih saying, dan kelembutan mereka seperti satu tubuh, jika salah satu anggotanya menderita sakit maka seluruh akan bergadang, tak dapat tidur dan merasakan demam. “ (HR. Muslim)

Gambaran indah ini tentu saja tidak sulit untuk diwujudkan jika masing-masing individu punya kepekaan, kemampuan merasakan kekurangan orang lain, ketajaman mata hati melihat kondisi saudara seiman, khususnya yang berada di lingkungan kita.



Bisa merasa tak sekedar sebuah empati, tapi lebih mendasar lagi, ia adalah inti kesadaran dan puncak obyektivitas. Bila kebiasaan dan kecakapan diperlukan dalam hidup sebagai keterampilan, maka bisa “merasa” atau kebiasaan untuk merasa adalah sisi dalamnya, rohnya, sekaligusjiwanya. Seperti kisah tentang orang-orang yang kaya atau mampu. Kepada mereka tidak saja dianjurkan untuk bersedekah. Tetapi kemampuan dan kebiasaan bersedekah itu harus dilengkapi dengan mentalitas yang bersih. Seperti dijelaskan Allah dalam firmannya. “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerimanya.” (QS : Al-Baqarah:264). Ayat di atas dengan jelas mengajarkan tentang pentingnya bisa “merasa”. Tidak sekedar “merasa” bisa. Bahwa bisa bersedekah itu baik. Tetapi kebiasaan bersedekah itu ternodai oleh ketidakmampuan “untuk merasa” maka akan rusak jadinya. Bisa merasa adalah kemampuan untuk memiliki tradisi kesadaran, menggunakan pikiran yang matang dan cara pandang yang obyektif. Kemampuan dan kebiasaan kita bersedekah, dalam contoh di atas, harus diiringi dengan kebiasaan untuk merasa, menyadari, bahwa sumber rezeki itu dari Allah. Bahwa penerima sedekah itu belum tentu orang yang lebih hina secara derajat ketaqwaan dari pada kita, bahwa seberapa pun besar sedekah kita, kita harus menyadari betapa kita bukan segala-segalanya. Peka. Punya daya sensitivitas dalam diri. Tapi ini bukan dalam konotasi negative. Dalam kehidupan ini, kita harus senantiasa banyak menoleh kepada diri, melihat kedalam, jauh ke lubuk hati. Bercermin pada sikap, perilaku, kemampuan, dalam banyak waktu, kesempatan dan keadaan. “binasalah seseorang yang tak mengerti kadar kemampuan dirinya, begitu kata orang bijak. Sensitivitas dalam arti kemampuan merasa adalah modal yang dapat mengontrol dan mengevaluasi kekurang-kekurangan yang seringkali tertutup oleh rasa percaya diri yang terlalu tinggi.

Bisa “merasa” artinya bagaimana kita selalu berada dalam kesadaran penuh, kesadaran maksimal dan kehidupan seorang muslim. Ia adalah puncak kesadaran, tidak sekedar empati. Pusat sumber “bisa merasa” ada di dalam kejujuran jiwa, ketulusan hati, dan keberanian kita untuk mengikuti suara hati yang bersih. Lalu, disepanjang hari-hari kita yang penat,cobalah kita bertanya, mengapakah kita gagal, mengapa pula kita sukses? Semoga kita tidak keliru dengan hanya mendasari segalanya pada falsafah “merasa bisa” tanpa pernah “bisa merasa” .





Tidak ada komentar: