Rabu, 19 Maret 2008

Insan Mulia dari Pulau Madura

Dahulu disebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh, usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekadarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid.



Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari itu sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum si nenek datang. Pada hari itu ia datang dan langsung masjid. Usai shalat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi kemasjid da menangis dengan keras. Ia mempertanyakan kenapa daun-daun itu sudah disapu sebelum kedatangannya. Semua orang yang berkerumun menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. ”jika kalin kasihan kepadaku,” kata nenek itu, ”berikan kesempatan padaku untuk membersihkannya.” singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang Kyai yang terhormat diminta untuk menanyakan kepada si nenek, mengapa ia sangat bersemangat membersihkan dedaunan itu. Si nenek mau menjelaskan alasannya tetapi dengan 2 syarat. Pertama, hanya Kyai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. (Saat ini si nenek sudah meninggal dunia). Ternyata inilah rahasia si nenek yang disampaikan kepada Kyai mulia dari Madura Ustadz D. Zawawi Imran : ”Saya ini perempuan bodoh pak Kyai, saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari kiamat tanpa syafa’at dari Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun yang terserak di halaman masjid, saya ucapkan satu shalawat kepada Rosulullah. Kelak jika saya wafat, saya ingin kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya.” . Si nenek yang berasal dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal di hadapan Allah SWT. Lebih dari itu ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur. Ia tidak mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat bagi semua alam selain Rosulullah SAW?.

”Saat lantunan shalawat bergema hingga menyentuh raga, kibarkan ikrar di dalam dada untuk selalu mencintai Rosulullah. Mari tenggelam dalam kesunyian. Hanyut dalam keheningan. Mendengarkan setiap tarikan nafas. Merasakan detak dan irama jantung. Mari bertafakur, bermunajat, berdoa dan berkirim shalawat kepada Nabi kita disaat yang paling indah, ketika Ia lahir kedunia untuk menjadi rahmat bagi semua alam. Saat tak ada orang lain yang mengetahui amal-amal kita. Ketika tak satupun orang yang memperhatikan kita. Hari ini, selalu dan selamanya, torehkan dalam hati kita Rosulullah selalu hadir sebagai sosok panutuan dengan segenap kecintaan kita padanya. (widya)

Tidak ada komentar: