Masihkah benak kita terganggu dengan nestapa Sugiharti (28). Seorang ibu satu anak yang digunduli tat kala tertangkap aparat Trantib karena menjadi joki3 in 1. Batin wanita itu hanya mampu menjerit saat anaknya yang baru berumur tiga tahun menatap tak berdaya ibunya yang diperlakukan kasar. Sugiharti yang tak sekaya namanya (sugih/kaya) menjadi korban betapa kejam kemiskinan merajam. Pun, ia korban kebijakan yang tidak pernah berpihak pada masyarakat lemah.Sugiharti tumbal hukum yang coba ditegakkan. Orang miskin ini tameng penyelamat bagi orang kaya yang ingin cari selamat.
Ia ibarat mainan bagi kalangan berduit yang begitu mudah melihat kesulitan Sugiharti hanya dengan imbalan Rp 5000. Demi uang itu, ia musti menukar dengan harga diri dibotaki. Menoreh dendam di hati anaknya dan dijebloskan enam hari di Panti Sosial Kedoya, Jakarta Barat. Saat 3 in 1 digagas, niatnya untuk mengurangi kemacetan Ibu Kota. Agar orang kaya yang mobilnya lebih dari satu dapat mengerem diri dengan memanfaatkan angkutan umum misalnya. Namun, tak hendak menghakimi 3 in 1-nya Bang Yos. Yang oleh Editorial Media Indonesia dikatakan, pekerjaan joki 3 in 1 juga tercipta justru karena ketidakcerdasan pemerintah DKI Jakarta dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Penerapan 3 in 1 jelas tidak efektif untuk mengatasi kemacetan. Itu solusi yang salah, tetapi terus dipertahankan, bahkan ditambah dari semula hanya berlaku pagi hari menjadi juga diterapkan di petang hari.Kisah Sugiharti cermin budaya memberi yang kerap tak tepat dilakukan. Cara membantu yang malah mencelakakan. Adap seperti tak dianggap, seolah orang miskin seperti Sugiharti keruwetan hidupnya rampung dengan sedekah seperak. Cara tak bermartabat memberi pada orang miskin memang tak dihiraukan. Selama tangan ditengadahkan dan recehan jatuh ke telapak tangannya ia tak peduli apakah orang memberinya dengan hati apa cibiran. Masa bodoh, yang penting malam hari perut tidak keroncongan dan anak tidak jejeritan karena lapar.Budaya memberi yang kurang maruf ini juga tercermin saat pembagian dana kompensasi BBM. Untuk memperoleh dana itu orang miskin seakan wajib bekerja gigih dulu. Berebut antrian, berdesakan hingga ada seorang kakek yang meninggal. Seorang nenek pingsan, dan sebagian lainnya saling berinjak kaki. Belum lagi aksi anarki yang menyertai. Dari kepala desa dipukuli sampai tetangga tak bertegur sapa karena tak dapat sama rata. Maka tak salah jika ada plesetan BLT itu, Bantuan Langsung Tukaran (bertengkar).Pada bagian lain. Kita kerap menyukai paradoks. Mata kita gemar menonton di layar televisi saat orang miskin tiba-tiba ketiban rezeki. Seorang ibu dengan kakinya yang kurang sempurna hingga terseok saat jalan, menjadi tontonan menegangkan. Dalam jatah waktu yang ditentukan. Ia musti menghabiskan uang Rp 10 juta yang diterimanya dengan terbelalak. Yang tiba-tiba tida angin tiada hujan, uang itu ada digenggamanya. Namun, untuk menghabiskan uang itu, ia berpacu dengan waktu, berlari sekencang mungkin. Karena waktu yang diatur dan kegugupan oleh uang segepok, Ibu itu tak sempat berpikir jernih. Maka ia menyuguhkan dagelan tanpa sadar. Penonton tertawa, gemas, juga kesal kenapa dia tidak cerdas membelanjakan uang. Ia membeli kulkas padahal di rumahnya tak ada listrik. Ia berbelanja HP meski tak pernah tahu bagaimana memakainya. Ia mencoba membeli seperti apa yang orang kaya punya. Penonton dibuat gemas. Keringatnya yang bercucuran, nafasnya yang tersengal-sengal di close up untuk membetot simpati. Seolah di sebelah rumah kita sudah langka orang-orang miskin seperti wanita itu.Jika demikian, kemiskinan bisa dikata drama hidup. Karena drama, alurnya tak boleh putus. Untuk itu, orang miskin seperti makin dipersulit. Tambah sulit sepertinya makin estetik. Hmm…, padahal apa susahnya memberi apa yang memang menjadi hak orang miskin. Tanpa harus merampas hak azasinya untuk terhormat dan bermartabat. Arsa Wening
Tidak ada komentar:
Posting Komentar